Jumat, 26 April 2013

PROSPEK PERDAGANGAN

Sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan karena permintaan dunia yang sangat tinggi. Masyarakat Jepang merupakan konsumen ikan sidat terbesar dunia, dimana setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan dunia. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, populasi sidat populer dunia seperti Anguilla Japonica, Anguilla anguilla dan Anguilla rostrata mulai menurun drastis karena konsumsi berlebihan, ditambah siklus hidup yang rumit menyebabkan stok benih budidaya ikan ini masih mengandalkan hasil tangkapan alam. Menurunnya produksi sidat membuat dunia mulai melirik ke spesies sidat tropik di Indonesia yang ternyata merupakan pusat sidat dan memiliki 12 spesies dari 18 spesies yang ada di dunia. Indonesia yang memiliki sidat dengan jenis yang cukup beragam belum dimanfaatkan secara optimal. Kebanyakan sidat yang dipasarkan merupakan hasil tangkapan dari alam. Sampai saat ini jumlah pembudidaya sidat masih sangat terbatas, padahal potensi benih sidat (glass eel) di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa antara jumlah produksi benih yang dihasilkan dari alam belum sepadan dengan pemanfaatannya untuk pembesaran. Dengan demikian perlu diwaspadai karena kenyataan di lapangan justru permintaan ekspor terhadap benih sidat (glass eel) semakin meningkat, misalnya dengan dalih untuk penelitian. Dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, tentang larangan Pengeluaran Benih Sidat Dari Wilayah Negara Republik Indonesia, ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia NOMOR PER. 18/MEN/2009. Ukuran dan benih sidat yang dilarang adalah: 1. Benih adalah ikan dalam umur, bentuk, dan ukuran tertentu yang belum dewasa. 2. Benih sidat adalah sidat kecil dengan ukuran panjang sampai 35 cm dan/atau berat sampai 100 gram per ekor dan/atau berdiameter sampai 2,5 cm. Jadi ada batasan berat 100 gram, atau diameter s/d 2,5 cm, dan panjang 35 cm. Hal itu memungkinkan perkembangan pemeliharaan sidat dalam negeri sampai ukuran (100 gr, diameter 2,5 cm, panjang 35 cm), dan dapat dilepas ke pasar internasional untuk ukuran yang lebih besar. Pasaran di Jepang menghendaki ukuran konsumsi 190 gr/ sd 200 gr per ekor yang disebut ‘boko’ [150 gr s/d 220 gr, panjang s/d 80 cm sekilo 6 ekor], untuk ukuran small marketsize adalah ‘futo’ [100 gr - 150 gr, panjang mencapai 50 cm, sekilo 8 ekor]. Jika sudah dipaket menjadi sidat panggang (unagi kabayaki) kemasan adalah 110gr- 120 gr, dan 150gr-160gr, dalam bentuk sudah dikemas dalam kemasan vakum, dari sidat hidup kabayaki susut beratnya 20%. Harga sidat di Tsukiji Market - Jepang, mencapai 7.000 yen per kg, sekitar Rp. 739.865 per kilo gram, untuk unagi kabayaki (panggang di vakum) harga 110gr - 120 gr sekitar 1.260-1.500 yen (133 ribu s/d 158 ribu rupiah). Jadi dapat diperhitungkan harga jual ke Jepang, tentu akan memudahkan jika di Indonesia yang di eksport adalah produk olahan (unagi kabayaki), bisa juga dalam bentuk fresh frozen eel, frozen roasted eel (unagi kabayaki). Untuk pasaran dunia biasanya mereka menghendaki sidat hidup untuk pasar lokal, dan frozen eel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar