Rabu, 15 Mei 2013

Laba dan Risiko Sama Besarnya

Belum banyak pelaku usaha yang berani terjun langsung ke bisnis budidaya sidat. Tertantang?
Pasar sidat internasional yang membutuhkan sekitar 164 ribu ton/tahun tidak dapat dicukupi dengan hanya mengandalkan tangkapan alam. Karena itu budidaya menjadi langkah yang tepat. Pembudidaya sidat mulai bermunculan. Namun jika hanya tergiur margin yang besar, jangan harap bisa bertahan.
Budidaya sidat terbilang cukup lama. Dari benih hingga panen ukuran konsumsi, membutuhkan waktu sekitar 8-14 bulan.. Yopie Yuliarso, pembudidaya sidat di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur menuturkan, budidaya sidat sebaiknya dibagi dalam beberapa tahapan. “Main (budidaya) sidat ini jangan dari kecil sampai gede, kelamaan. Ada yang main dari 100 g ke 250 g, atau ada yang dari 50 g ke 100 g. Mendingan begitu,” sarannya.
Secara umum, dikenal empat fase hidup sidat. Glass eel, yaitu benih sidat berukuran 0,09 – 0,17 g per ekor. Benih ini murni merupakan tangkapan alam, ditemukan di muara-muara sungai pada bulan-bulan tertentu, misal di Pelabuhan Ratu, antara Oktober-Februari. Pemeliharaan glass eel hingga menjadi benih berukuran 2 - 10 g per ekor atau elver memakan waktu 5 hingga 6 bulan.
Tahapan selanjutnya, fingerling berukuran 50 - 100 g per ekor. Dari elver mencapai fingerling perlu waktu 3 - 4 bulan. Terakhir, dari ukuran fingerling hingga mencapai ukuran sidat konsumsi, yaitu 250 g per ekor, membutuhkan waktu 3 – 4 bulan. 

Budidaya Intensif
Fitria Nawir, Penanggung Jawab Budidaya Sidat di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, Jabar, menuturkan, kebutuhan pembesaran sidat berbeda dengan tahapan benih. Seperti usaha benih yang dapat dilakukan di dalam ruangan atau menggunakan akuarium, sementara pembesaran dilaksanakan di kolam.
“Sebenarnya benih ukuran 20 g sudah bisa dipindahkan ke kolam tanah atau kolam tambak. Karena kalau terlalu lama di indoor (di ruangan) pertumbuhannya juga kurang bagus, tidak cepat seperti di pembesaran di kolam tanah,” tuturnya.
Pemilihan pakan sidat selanjutnya menjadi hal penting untuk diperhatikan. Pasalnya, menurut I Made Suitha, Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sidat tergolong ikan berusus pendek dengan rasio pakan yang tinggi. “Makanan belum terserap dengan baik, sudah terdorong oleh makanan lain, jadi tidak efisien. Kita harus memilih sumber protein yang mudah diserap namun murah,” cetus Made.
Fitria membenarkan, “Kita pakai pakan yang punya kandungan protein minimal 46%. Kalau masih glass eel kita kasih cacing sutera.” Lanjutnya, 2 – 3 bulan setelahnya, cacing sutera dapat dicampurkan dengan pasta, yaitu pellet yang dihancurkan seperti tepung dan ditambahkan air. Semakin besar, persentase pakan cacing sutera diturunkan, hingga pada akhirnya hanya diberi pasta.
Tambahan vitamin atau probiotik pun dibutuhkan dalam pengembangan sidat. Vitamin biasanya diberikan pada musim hujan karena risiko serangan penyakit semakin tinggi. Sedangkan probiotik digunakan untuk menjaga kualitas air.
Dona Roy, seorang pembudidaya sidat di Yogyakarta membagi pengalamannya saat menggunakan probiotik. “Saat awal mulai, banyak yang mati. Lalu kami coba tebar (benih) ditambah probiotik. Kematiannya menurun sampai 25%. Lucunya, secara fisik memang lebih besar yang tanpa probiotik, tapi pas ditimbang, bobot yang kecil (dengan probiotik) sama dengan yang besar (tanpa probiotik). Kecil tapi berat begitu,” ungkap pria kelahiran Ngawi ini.

Kenali Risikonya
Bisnis sidat memang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, tapi risikonya juga besar. “Yang paling mudah itu pembesaran, tapi butuh duit gede. Kalau pendederan itu biaya lebih kecil, hasil lebih gede, tapi risiko tinggi,” tutur Yopie. Fase glass eel, termasuk berisiko paling tinggi, mulai dari ketersediaan yang tidak kontinu, hingga risiko kematian yang tinggi.
Namun bagi pembudidaya seperti Dona, mulai budidaya dari tahapan glass eel justru tingkat kematiannya lebih kecil. “Misal dari 1 kg glass eel itu isi 5.000 ekor. Dalam sehari cuma mati maksimal tiga ekor. Kalau kita hitung 5 bulan, ada sekitar 450 ekor yang mati. Kita masih punya 4.500 (ekor) lagi. Tapi banyak juga yang mengalami glass eel itu kalau hidup 50% saja sudah bagus,” ujarnya.
Sementara di tahapan pembesaran, Fitria menekankan risiko kaburnya sidat akibat kebocoran pematang. “Kalau ada yang berlubang, lalu ada hujan dan ada titik air yang terkonsentrasi, dia akan mengikuti air itu,” imbuhnya. Yopie menambahkan, penyakit seperti ekor putih, white spot, hingga gangguan pencernaan menjadi penyakit yang acap kali menyerang sidat. Beranimencoba?


1 komentar:

  1. selamat sore, saya ragil dari jogja. jika berkenan saya mohon kontak sodara Dona Roy yang di jogja. saya ingin sharing tentang budidaya sidat. suwun.

    BalasHapus