Belum banyak pelaku usaha yang berani terjun langsung ke bisnis budidaya
sidat. Tertantang?
Pasar sidat internasional yang
membutuhkan sekitar 164 ribu ton/tahun tidak dapat dicukupi dengan hanya
mengandalkan tangkapan alam. Karena itu budidaya menjadi langkah yang tepat.
Pembudidaya sidat mulai bermunculan. Namun jika hanya tergiur margin yang
besar, jangan harap bisa bertahan.
Budidaya sidat terbilang cukup
lama. Dari benih hingga panen ukuran konsumsi, membutuhkan waktu sekitar 8-14
bulan.. Yopie Yuliarso, pembudidaya sidat di daerah Pondok Kelapa, Jakarta
Timur menuturkan, budidaya sidat sebaiknya dibagi dalam beberapa tahapan. “Main
(budidaya) sidat ini jangan dari kecil sampai gede, kelamaan. Ada yang main dari 100 g ke 250 g, atau ada yang
dari 50 g ke 100 g. Mendingan
begitu,” sarannya.
Secara umum, dikenal empat
fase hidup sidat. Glass eel, yaitu
benih sidat berukuran 0,09 – 0,17 g per ekor. Benih ini murni merupakan
tangkapan alam, ditemukan di muara-muara sungai pada bulan-bulan tertentu,
misal di Pelabuhan Ratu, antara Oktober-Februari. Pemeliharaan glass eel hingga menjadi benih berukuran
2 - 10 g per ekor atau elver memakan
waktu 5 hingga 6 bulan.
Tahapan selanjutnya, fingerling berukuran 50 - 100 g per
ekor. Dari elver mencapai fingerling perlu waktu 3 - 4 bulan.
Terakhir, dari ukuran fingerling
hingga mencapai ukuran sidat konsumsi, yaitu 250 g per ekor, membutuhkan waktu
3 – 4 bulan.
Budidaya Intensif
Fitria Nawir, Penanggung Jawab
Budidaya Sidat di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB)
Karawang, Jabar, menuturkan, kebutuhan pembesaran sidat berbeda dengan tahapan
benih. Seperti usaha benih yang dapat dilakukan di dalam ruangan atau
menggunakan akuarium, sementara pembesaran dilaksanakan di kolam.
“Sebenarnya benih ukuran 20 g
sudah bisa dipindahkan ke kolam tanah atau kolam tambak. Karena kalau terlalu
lama di indoor (di ruangan)
pertumbuhannya juga kurang bagus, tidak cepat seperti di pembesaran di kolam
tanah,” tuturnya.
Pemilihan pakan sidat
selanjutnya menjadi hal penting untuk diperhatikan. Pasalnya, menurut I Made
Suitha, Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara,
sidat tergolong ikan berusus pendek dengan rasio pakan yang tinggi. “Makanan
belum terserap dengan baik, sudah terdorong oleh makanan lain, jadi tidak
efisien. Kita harus memilih sumber protein yang mudah diserap namun murah,”
cetus Made.
Fitria membenarkan, “Kita
pakai pakan yang punya kandungan protein minimal 46%. Kalau masih glass eel kita kasih cacing sutera.”
Lanjutnya, 2 – 3 bulan setelahnya, cacing sutera dapat dicampurkan dengan
pasta, yaitu pellet yang dihancurkan seperti tepung dan ditambahkan air.
Semakin besar, persentase pakan cacing sutera diturunkan, hingga pada akhirnya
hanya diberi pasta.
Tambahan vitamin atau
probiotik pun dibutuhkan dalam pengembangan sidat. Vitamin biasanya diberikan
pada musim hujan karena risiko serangan penyakit semakin tinggi. Sedangkan probiotik
digunakan untuk menjaga kualitas air.
Dona Roy, seorang pembudidaya
sidat di Yogyakarta membagi pengalamannya saat menggunakan probiotik. “Saat
awal mulai, banyak yang mati. Lalu kami coba tebar (benih) ditambah probiotik.
Kematiannya menurun sampai 25%. Lucunya, secara fisik memang lebih besar yang
tanpa probiotik, tapi pas ditimbang, bobot yang kecil (dengan probiotik) sama
dengan yang besar (tanpa probiotik). Kecil tapi berat begitu,” ungkap pria
kelahiran Ngawi ini.
Kenali Risikonya
Bisnis sidat memang
menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, tapi risikonya juga besar. “Yang
paling mudah itu pembesaran, tapi butuh duit gede. Kalau pendederan itu biaya
lebih kecil, hasil lebih gede, tapi risiko tinggi,” tutur Yopie. Fase glass eel, termasuk berisiko paling
tinggi, mulai dari ketersediaan yang tidak kontinu, hingga risiko kematian yang
tinggi.
Namun bagi pembudidaya seperti
Dona, mulai budidaya dari tahapan glass
eel justru tingkat kematiannya lebih kecil. “Misal dari 1 kg glass eel itu isi 5.000 ekor. Dalam
sehari cuma mati maksimal tiga ekor. Kalau kita hitung 5 bulan, ada sekitar 450
ekor yang mati. Kita masih punya 4.500 (ekor) lagi. Tapi banyak juga yang
mengalami glass eel itu kalau hidup
50% saja sudah bagus,” ujarnya.
Sementara di tahapan
pembesaran, Fitria menekankan risiko kaburnya sidat akibat kebocoran pematang.
“Kalau ada yang berlubang, lalu ada hujan dan ada titik air yang
terkonsentrasi, dia akan mengikuti air itu,” imbuhnya. Yopie menambahkan,
penyakit seperti ekor putih, white spot, hingga gangguan pencernaan menjadi
penyakit yang acap kali menyerang sidat. Beranimencoba?
selamat sore, saya ragil dari jogja. jika berkenan saya mohon kontak sodara Dona Roy yang di jogja. saya ingin sharing tentang budidaya sidat. suwun.
BalasHapus