Kamis, 16 Mei 2013

Sekilas Tentang Sidat

Ikan sidat atau “moa”, ada juga yang menamakan “pelus” untuk ukuran yang bhesar, merupakan salah satu jenis ikan yang populer, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia. Sebagai katadrom, mereka tinggal di perairan tawar hingga 6-20 tahun, dan begitu mau memijah kembali ke laut; dalam perjalanan kembali ke laut itu mereka tidak makan. Ikan ini pun mati setelah menunaikan tugasnya menurunkan generasinya (memijah). Di Jepang ikan ini sangat populer dengan sebutan “unagi” dan umumnya disajikan dalam bentuk panggang (grilled eel fillet).
Gambar 1. “Unadon”. adalah salah satu makanan termahal di dunia yang terbuat dari sidat)

Ikan ini mempunyai beberapa keistimewaan antara lain mempunyai kandungan zat gizi yang tinggi terutama vitamin A, rasanya sangat lezat, berkalori tinggi (303.100 kcal/gram) dan merupakan sumber energi yang besar; di negara-negara tertentu diyakini sebagai sumber energi yang sangat diperlukan pada musim-musim dingin. Banyaknya keunggulan dari ikan sidat sebagai sumber gizi membuat ikan ini sangat diminati di Jepang, Eropa, Amerika, Korea dan Taiwan. Jenis masakan sidat yang paling poluler di Jepang adalah “unadon” (Gambar 1). Unadon berasal dari kata unagi no kabayaki (ikan sidat panggang atau smoked eel) dan donburi (yaitu nasi dan berbagai menu yang diasjikan dalam mangkok besar). Boleh dicoba – dan kita akan menikmati setiap gigitan menu ini. Kalau di Indonesia kemana kita pergi akan ketemu sate, maka bila di Jepang kita akan ketemu sidat panggang yang sanagat harum menusuk hidung dan membangkitkan selera kita. Pasar sidat meliputi pasar domestik dan internasional, namun suplainya masih sangat terbatas, sehingga harga ikan ini cukup tinggi terutama untuk ukuran benih (elver maupun fingerling). Selama ini tujuan ekspor utama adalah Jepang, tetapi juga merupakan penghasil sidat dunia. Permintaan sidat negara itu mencapai 130.000 ton per tahun, sementara produksinya baru 21.800 ton atau baru 16,8%. Jumlah produksi tersebut sebagian besar dari hasil budidaya yaitu 21.000 ton (96,3%). Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya di Jepang maupun negara-negara lain adalah semakin menurunnya suplai benih. Beberapa sebab menurunnya suplai benih antara lain adalah karena penangkapan glass eel yang tak terkendali, dan semakin rendahnya jumlah sidat dewasa yang mampu kembali ke laut untuk memijah. Penangkapan yang tak terkendali di hampir semua negara berlangsung sudah sejak lama, dimana glass eel biasa ditangkap untuk makanan yang lezat. Kegiatan ini kemudian dilarang di Eropa, dan di Indonsesia berhenti setelah mereka mengetahui bahwa harga glass eel ini sangat mahal. Semakin rendahnya ikan dewasa yang mampu kembali ke laut disebabkan oleh semakin intensifnya penangkapan glass eel, banyaknya penghalang yang menghadang glass eel / elver naik ke hulu (antara lain bangunan-bangunan pengatur irigasi), dan belum berhasilnya produksi benih dari budidaya. Berbeda dengan di Indonesia, sebagian daerah potensial sidat seperti Sumatera, Sulawesi, dll. belum dimanfaatkan secara optimal, kecuali di Selatan Pulau Jawa. Demikian pula budidaya ikan ini belum sepenuhnya diusahakan secara maksimal. Usaha budidaya sidat secara super intensif yang dulu pernah dilakukan menjadikan harga pokoknya cukup tinggi, sedang harga ekspor kadang turun bergantung musim panen di negara importir. Dengan semakin menurunnya suplai benih, semakin mahal harga sidat baik benih maupun ukuran konsumsi. Harga sidat ukuran konsumsi secara bertahap terus meningkat; di pasaran lokal dari harga per kilogram Rp.50.000 beberapa tahun lalu kini meningkat hingga Rp.80.000. Jepang bahkan memberikan harga yang jauh lebih tinggi khususnya untuk sidat budidaya yang dikemas hingga kualitas produk memenuhi persyaratan mereka. Untuk harga glass eel khususnya merangkak cepat dari per kg Rp.5.000 pada tahun delapan puluhan, akhir-akhir ini menjadi Rp.400.000-500.000. Tingginya harga glass eel di luar negeri bahkan menyebabkan ekspor elver sidat secara diam-diam dan ini merupakan suatu hal yang sangat tidak bijaksana. Pengembangan budidaya dengan demikian merupakan peluang baik bagi masyarakat, yang perlu didukung oleh pemerintah. Teknologi madya yang telah ditemukan pada tahun-tahun tujuh puluhan oleh pengusaha swasta dan kemudian akhirakhir ini dimulai oleh Balai Layanan Usaha Produksi Budidaya Karawang (dulu PT. Pandu TIR) salah satu UPT Ditjen Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan) di Karawang, membuka hasanah baru menggeliatnya minat usaha sidat di Indonesia.

Rabu, 15 Mei 2013

Analisis Usaha Sederhana Sidat

Analisis Usaha Sederhana Sidat
Investasi tetap untuk glass eel – elver dan elver – fingerling :
Investasi tetap (5 tahun)             Rp7.200.000
- 18 akuarium ukuran 100 x 50 x 35 cm (1 kg glass eel=6 akuarium) @Rp150.000              Rp2.700.000
- 6 buah rak penyimpan akuarium (1 rak=3 akuarium) @Rp400.000 Rp2.400.000
- Aerator mesin @Rp1.100.000
- Biaya instalasi dan lain-lain Rp1.000.000

1.        Glass eel - Elver 5-6 bulan
Tebar benih 3 kg (5.000 ekor/kg) @Rp900.000/kg          Rp2.700.000
Pakan cacing sutera 100 l/6 bulan @Rp6.000  Rp600.000
Probiotik, vitamin, obat-obatan   Rp150.000
Pengeluaran            Rp3.450.000

Panen ukuran rata-rata 5 g dengan SR 60%: 45 kg
Harga jual Rp350.000/kg
Pendapatan              Rp15.750.000

Keuntungan Rp15.750.000 – Rp3.450.000 = Rp12.300.000

2. Elver – Fingerling, siklus 3-4 bulan
Tebar benih 3 kg (60 ekor/kg) @Rp150.000   Rp450.000
Pakan cacing sutera 120 l/4 bulan @Rp6.000  Rp720.000
Probiotik, vitamin, obat-obatan   Rp150.000
Pengeluaran            Rp1.320.000

Panen ukuran 33,3 g: 18 kg (isi 30 ekor/kg)
Harga jual Rp110.000/kg
Pendapatan              Rp19.800.000

Keuntungan Rp19.800.000 – Rp1.320.000    = Rp18.480.000

3. Fingerling – Ukuran konsumsi 250 g, siklus 3-4 bulan
Investasi tetap, kolam berukuran 4x2x1 m3  Rp1.500.000 – Rp3.500.000
(Termurah menggunakan kolam terpal, hingga paling mahal dengan kolam beton)
Tebar benih 25 kg @Rp100.000     Rp2.500.000
Pakan pellet kakap 200 kg/4 bulan @Rp12.000                Rp2.400.000
Probiotik, vitamin, obat-obatan   Rp150.000
Tenaga kerja panen 4 orang @Rp800.000      Rp3.200.000
Pengeluaran            Rp8.250.000

Panen ukuran 250 g : 100 kg (1 kg isi 4 ekor)
Harga Rp100.000/kg
Pendapatan              Rp10.000.000

Keuntungan Rp10.000.000 – Rp8.250.000 =                 Rp1.750.000

Sumber : Yopie Yuliarso, 2012 (Diolah)

Laba dan Risiko Sama Besarnya

Belum banyak pelaku usaha yang berani terjun langsung ke bisnis budidaya sidat. Tertantang?
Pasar sidat internasional yang membutuhkan sekitar 164 ribu ton/tahun tidak dapat dicukupi dengan hanya mengandalkan tangkapan alam. Karena itu budidaya menjadi langkah yang tepat. Pembudidaya sidat mulai bermunculan. Namun jika hanya tergiur margin yang besar, jangan harap bisa bertahan.
Budidaya sidat terbilang cukup lama. Dari benih hingga panen ukuran konsumsi, membutuhkan waktu sekitar 8-14 bulan.. Yopie Yuliarso, pembudidaya sidat di daerah Pondok Kelapa, Jakarta Timur menuturkan, budidaya sidat sebaiknya dibagi dalam beberapa tahapan. “Main (budidaya) sidat ini jangan dari kecil sampai gede, kelamaan. Ada yang main dari 100 g ke 250 g, atau ada yang dari 50 g ke 100 g. Mendingan begitu,” sarannya.
Secara umum, dikenal empat fase hidup sidat. Glass eel, yaitu benih sidat berukuran 0,09 – 0,17 g per ekor. Benih ini murni merupakan tangkapan alam, ditemukan di muara-muara sungai pada bulan-bulan tertentu, misal di Pelabuhan Ratu, antara Oktober-Februari. Pemeliharaan glass eel hingga menjadi benih berukuran 2 - 10 g per ekor atau elver memakan waktu 5 hingga 6 bulan.
Tahapan selanjutnya, fingerling berukuran 50 - 100 g per ekor. Dari elver mencapai fingerling perlu waktu 3 - 4 bulan. Terakhir, dari ukuran fingerling hingga mencapai ukuran sidat konsumsi, yaitu 250 g per ekor, membutuhkan waktu 3 – 4 bulan. 

Budidaya Intensif
Fitria Nawir, Penanggung Jawab Budidaya Sidat di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, Jabar, menuturkan, kebutuhan pembesaran sidat berbeda dengan tahapan benih. Seperti usaha benih yang dapat dilakukan di dalam ruangan atau menggunakan akuarium, sementara pembesaran dilaksanakan di kolam.
“Sebenarnya benih ukuran 20 g sudah bisa dipindahkan ke kolam tanah atau kolam tambak. Karena kalau terlalu lama di indoor (di ruangan) pertumbuhannya juga kurang bagus, tidak cepat seperti di pembesaran di kolam tanah,” tuturnya.
Pemilihan pakan sidat selanjutnya menjadi hal penting untuk diperhatikan. Pasalnya, menurut I Made Suitha, Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sidat tergolong ikan berusus pendek dengan rasio pakan yang tinggi. “Makanan belum terserap dengan baik, sudah terdorong oleh makanan lain, jadi tidak efisien. Kita harus memilih sumber protein yang mudah diserap namun murah,” cetus Made.
Fitria membenarkan, “Kita pakai pakan yang punya kandungan protein minimal 46%. Kalau masih glass eel kita kasih cacing sutera.” Lanjutnya, 2 – 3 bulan setelahnya, cacing sutera dapat dicampurkan dengan pasta, yaitu pellet yang dihancurkan seperti tepung dan ditambahkan air. Semakin besar, persentase pakan cacing sutera diturunkan, hingga pada akhirnya hanya diberi pasta.
Tambahan vitamin atau probiotik pun dibutuhkan dalam pengembangan sidat. Vitamin biasanya diberikan pada musim hujan karena risiko serangan penyakit semakin tinggi. Sedangkan probiotik digunakan untuk menjaga kualitas air.
Dona Roy, seorang pembudidaya sidat di Yogyakarta membagi pengalamannya saat menggunakan probiotik. “Saat awal mulai, banyak yang mati. Lalu kami coba tebar (benih) ditambah probiotik. Kematiannya menurun sampai 25%. Lucunya, secara fisik memang lebih besar yang tanpa probiotik, tapi pas ditimbang, bobot yang kecil (dengan probiotik) sama dengan yang besar (tanpa probiotik). Kecil tapi berat begitu,” ungkap pria kelahiran Ngawi ini.

Kenali Risikonya
Bisnis sidat memang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, tapi risikonya juga besar. “Yang paling mudah itu pembesaran, tapi butuh duit gede. Kalau pendederan itu biaya lebih kecil, hasil lebih gede, tapi risiko tinggi,” tutur Yopie. Fase glass eel, termasuk berisiko paling tinggi, mulai dari ketersediaan yang tidak kontinu, hingga risiko kematian yang tinggi.
Namun bagi pembudidaya seperti Dona, mulai budidaya dari tahapan glass eel justru tingkat kematiannya lebih kecil. “Misal dari 1 kg glass eel itu isi 5.000 ekor. Dalam sehari cuma mati maksimal tiga ekor. Kalau kita hitung 5 bulan, ada sekitar 450 ekor yang mati. Kita masih punya 4.500 (ekor) lagi. Tapi banyak juga yang mengalami glass eel itu kalau hidup 50% saja sudah bagus,” ujarnya.
Sementara di tahapan pembesaran, Fitria menekankan risiko kaburnya sidat akibat kebocoran pematang. “Kalau ada yang berlubang, lalu ada hujan dan ada titik air yang terkonsentrasi, dia akan mengikuti air itu,” imbuhnya. Yopie menambahkan, penyakit seperti ekor putih, white spot, hingga gangguan pencernaan menjadi penyakit yang acap kali menyerang sidat. Beranimencoba?